Minggu, 04 April 2010

PENCERAHAN

Bila engkau menyerah pada
Keputusasaan,engkau tidak akan
Pernah mendapat pengalaman dan tidak pula
Akan mendapatkan kebahagiaan.

Lihatlah masa lalu dan tataplah masa depanmu
Dalam hidup ini selalu ada ujian
Ia akn selalu datang silih berganti
Maka,setiap orang harus bisa keluar dari ujian itu sebagai pemenang.

Jangan pernah menjadikan kesusahan
Dan kesedihan sebagai tema pembicaraan
Karena ,hal itu akan menghalangimu dari kebahagiaan.

Optimislah,meskipun engkau berada
Ditengeh-tengah badai yang menerjang...!

Emasmu adalah agamamu
Perhiasan adalah budi pekertimu
Dan hartamu adalah sopan santunmu.

Penyakit merupakan pesan
yang menyimpan kabar gembira
Sedangkan kesehatan adalah periasan yang sangat berharga.

Hapuslah air mata anak yatim
Untuk meraih keidhaan yang maha pengasih
Atas keketentram surga.

Berhati-hatilah terhadap do'a orang yang teraniaya
Dan air mata orang yang tak berdaya.

Hati yang sehat adalah yang ada didalamnya
Tidak ada syirik,tipu daya,rasa iri,dan dengki.

Mengubah kesalahn menjadi kebenaran
Itu laksana pertualangan panjang yang
penuh keindahan.

Sabtu, 03 April 2010

Kisah Nyata Ari Hanggara

Film Arie Hanggara (1985) yang disutradarai Frank Rorimpandey, menurut data yang ditulis di belakang CD-nya, adalah kisah yang diputar dengan sorot balik. Maksudnya, prosesi penguburan dan pengadilan bapaknya si Ari dulu ditampilkan, baru menyusul cerita bagaimana rangsang penyiksaan Ari lewat adegan rekonstruksi.

Padahal kata orang-orang ahli, film yang diproduksi pada 1985 ini bagus. Buktinya aktor terbaik untuk Piala Citra FFI 1985 disabet Dedy Mizwar yang berperan sebagai Tino Ridwan, ayah Arie Hanggara. Untuk musik yang digarap Idris Sardi dan skenario yang ditulis Arswendo Atmowiloto juga dapat Citra. Sementara pada Piala Kartini 1986 penghargaan untuk Pemeran Anak-Anak Terbaik jatuh di tangan Yan Cherry Budiono yang berperan sebagai Arie Hanggara.

Film ini diambil dari kisah nyata setelah warga Jakarta dihebohkan kasus meninggalnya seorang bocah 8 tahun akibat penyiksaan orang tuanya. Media massa meliput penuh gempita kabar ini. Wajar kemudian ketika difilmkan, Arie Hanggara menjadi film juara satu untuk penonton terbanyak. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekira 382.708.

Film ini memang menguras airmata—walau pertama kali nonton saya tidak. Berkisah tentang seorang penganggur kelas berat bernama Tino Ridwan (Deddy Mizwar). Bangun selalu siang, tukang janji kelas kakap, dan pembuat anak yang kuat. Sampai-sampai saudara dari pihak istrinya menggunjinginya sebagai pejantan yang hanya kuat membuat anak. Bayangkan anak-anaknya Cuma selisih setahun. Selama lima tahun pekerjaan utama istrinya adalah bunting.

Karena tak punya kerjaan dan disertai dengan jaim yang tinggi, sementara Jakarta meminta terlalu banyak, bersiteganglah si Tino ini dengan istrinya. Sang istri kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah neneknya untuk kemudian diambil lagi sewaktu dia sudah hidup bersama dengan pacarnya, Santi (Joice Erna). Ceritanya dua orang ini kumpul kebo.

Di rumah kontrakan kecil ini hiduplah lima orang manusia. Tino dan Santi serta tiga anak Tino dari istri pertamanya: Anggi (tertua), Arie, dan Andi (si kecil).

Dasar memang laki-laki bergaya parlente, jaim tinggi, dan ngomongnya selalu muluk-muluk kayak pegawai kantoran bergaji tinggi, dia cuma lantang-lantung aja di rumah. Untung Santi memiliki pekerjaan. Untuk menopang kegengsiannya, uang Santi pun dibelikannya mobil rombengan dengan tangan tetap menengadah untuk beli bensin dan onderdil. Lama-lama Santi sebel juga punya pacar seperti ini. Kalau Santi lagi menghitung penghasilannya di meja makan, si Tino ini uring-uringan saja di samping Santi sambil nunggu uang sisa.

Si Tino sadar betul dengan profesinya sebagai penganggur. Tapi bagaimana lagi. Dia kan malu. Teman-temannya sudah bekerja semua. Tak kuat nanggapi omelan pacarnya, dia pun sehabis ngantar istri ke kantor, dia lamar kerja di sana dan di sini. Tapi nggak dapat-dapat juga. Teman-teman dihubungi, tapi semuanya menolak. Padahal di rumah rokoknya terus mengebul dan omongannya juga besar.

Heh, apa nggak stres begini. Pacar udah mulai cerewet, kerja nggak ketemu juga, anak-anak di rumah kian bandel saja. Si Tino selalu menetapkan aturan yang keras kepada anaknya. Apa saja harus diatur. Tapi Arie Hanggara, si anak kedua ini, selalu membandel dengan aturan ini. Wajah si Yan Cherry Budiono yang memerankan Arie ini memang wajah memelas. Sosoknya pendiam. Tapi diamnya Arie adalah diam yang meresahkan Tino.

Tino si penganggur heroik ini sebetulnya sayang juga sama anak ini. Santi juga nggak kejam-kejam amat. Namun itu tadi dia mulai cerewet dan nyindir-nyindir Tino atas kenakalan anak-anak yang diproduksinya dengan seksama. Lama-lama dia mulai jengkel, terutama kepada Arie. Mula-mula kalau semuanya berkumpul di meja makan malam hari, Tino tak sudah-sudah memperingati dan memaklumkan aturan supaya jangan nakal dan jangan nakal.

Eh, Arie Hanggara tetap membandel dengan aturan itu. Awal dipukuli, si Arie ini masih mengaduh, tapi lama-lama anak ini menjadi adiktif dan seperti meminta untuk dihukum. Apalagi sehabis penghukuman, bersenandung instrumentalia murung Idris Sardi menemani Arie belajar dalam gelap.

Lantaran takut melanggar, Arie sering berbohong. Dipukul lagi. Sampai-sampai kepala sekolah Arie, Bu Khodijah (Mien Brodjo), marah besar, geram dengan si Tino penganggur melihat wajah Arie lebam2 karena ditampar....

Berkali-kali si ibu kepsek ini memperingati si Tino jangan terlalu jaga gengsi yang pada akhirnya menghancurkan anak sendiri. Tapi dasar si Tino... no no... pengangggur katrok. Nggak mudeng-mudeng. Gengsinya aja tinggi, kantongnya cekak. Dia itu jalannya petentang-petenteng. Anak-nya tahu bahwa dia itu bos... Lha setiap pagi ngantar pacarnya ke kantor dengan pantolan necis, bersih, dan bekas setrika yg lancip-lancip. Tak tahunya ia itu sopir pribadi si Santi...

Di sekolah, si Ari jadi pendiam, asosial, dan jadi senang ngincar dompet teman-temannya. Ya, kayak si Nagabonar satu-lah. Nggak jauh-jauh. Maka jadi bulan-bulananlah dia. Kena gampar, tubuh tripleksnya terlempar-lempar.

Peran si Santi di sini tidak seperti ibu tiri yang dipandang sebagai iblis. Tak tega juga dia lihat Arie dipukuli si Tino penganggur darurat ini di hadapannya. Dia tak keras-keras amat. Hanya bebebrapa kali menggertak, menjambak, dan juga memukul... hehhehe sama saja ya.

Karena merasa “sakit prilaku” Arie sudah tak bisa diobati di sekolah SD Negeri, Tino pun berencana membawa si Ari ke pesanntren di Jawa Timur. Nggak disebut sih apa ke pesantren Tebu Ireng di Jombang atau Tambak Beras tempatnya para gus itu bernaung dan bersarung....

Tapi sayang sebelum dia dibawa ke pesantren, dia harus melakukan kesalahan lagi. Tapi kali ini kesalahan kakaknya. Tapi Arie ngaku bahwa dialah yang melakukannya. Ini anak memang sudah adiktif dengan pukulan. Bahkan dia minta digantung saja atau tangan diikat saja supaya tak nakal lagi. Itu kata-kata si Arie sendiri. Coba, mau bilang apa kalau sudah begini.

Saat kedua tangan dan kedua kaki si Arie diikat Tino, Santi kaget sekali. Arie, Arie kasihan amat lu jadi anak. Tapi gimana lagi cara menghadapi Tino si penganggur itu yang selera olahraganya sangat tinggi, seperti boling.

Adegan kaki dan tangan Arie diikat itulah yang selalu saya dan orang-orang yang pernah menonton Arie Hanggara selalu terkenang. Sementara Arie diikat, dua saudaranya yang lain memberinya makan diam-diam.

Saat sore, Arie sudah dimaafkan Tino. Tali dilepas. Tino bertanya: "Tahu kenapa Arie mau dimasukkan ke pesantren?” Arie dengan enteng menjawab: "Tahuuuu. Karna Arie suka nakal, suka mencuri, berbohong, suka mencuri lagi, sekali lagi, sekali lagi... mencuri lagi mencuri terusssss."

Tugas Arie di hari kedua sebelum kematian adalah mbersihin kamar mandi. Tapi Arie malas-malasan. Namanya saja anak kecil, ya dia mainlah kerjanya di kamar mandi. Main percik-percik air. Kan asyik tuh. Uh, marahnya ini pendekar penganggur. Arie dipanggil. Arie maju ke hadapannya. Ndongak. Seperti nantang. Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke pantat. Pukulan kayak gini enteng aja bagi Arie. Dihukumlah anak ini berdiri jongok. Disuruh ngitung 300-an kali.

Saat-saat menjalani hukuman begini, melintas musik sedih Idris Sardi yang mengalunkan senandung yang bisa-bisa meruntuhkan bendungan mata airmata. Kakak dan adiknya melihat Arie yang terhuyung-huyung ngantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani hukuman yang mestinya tak boleh ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit. Tatkala mereka menawarkan diri memberi Arie minum, Arie menolak. Dan malapetaka itu pun terjadi.

Pada 7 November 1984, si Tino pengangguran ini ketemu teman-temannya penjudi dan pemabuk. Maklum frustrasi ndaftar kerja, nggak dapet-dapet, mendaratlah dia di sini. Apa boleh buat. Frustrasi betul ia. Nggak ada kerjaan, istri sering ngomel karena jobless-nya ini, dan Arie tetap saja tak mau tunduk aturan...

Si Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim itu masih manis menasihati Arie untuk minta maaf saja sama si Tino penganggur dan sekarang pemabuk itu. Tapi Arie tak melakukannya, malah dibilangnya sama ibu tirinya itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah tangan si Santi yang mendorong Arie ke dinding. Nggak sampe jatuh kok.

"Arie, besok kita akan berangkat. Sekali ini Papa minta agar Arie jadi anak yang baik. Nah, malam ini Papa ingin melihat Arie minta maaf sama Papa dan Mama," pinta Tino sepulang dari mabok di malam jahanam itu.

Namun apa jawabnya? "Pukul Arie sajalah, Pa. Arie kan nakal," katanya sambil garuk-garuk kepala. Coba, sudah pulang membawa sisa mabok, menghadapi anak yang dikira malam itu baik, eh malah minta dipukulin.

"Ariiiii!" uh gusarnya si Tino ini. Disuruh berdiri jongkok sambil ngitung pun, Arie tetap saja membandel. Coba dengar caranya mengitung: "Satu lagi, dua lagi, tiga lagi, empat lagi....20 lagi... 30 lagi... 100 lagi... 200 lagi... 300 lagi"

Tino berdiri dan menggampar pantat kecil anak malang ini. "Yang benar, Arie!" raungnya sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan... Mata Arie yang lebam kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan memandang mata anak itu, diambilnya tongkat sapu. Diganyangnya pantat itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Santi melihat ulah si Tino yang nggak ketulungan ini. Anak ini nggak mau lagi menangis. Menatap bapaknya dengan sangat tajam, tapi raut wajah dingin yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan terjungkallah ia ke lantai. Belum mati. Lalu si Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok menjalani hukuman. Mereka sempat pelukan dan suara Tino sudah mengendur. Mungkin capek menghadapi sikap Arie yang dingin, patuh, tapi kepatuhan yang melawan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi Tino mengancam, setelah dia diberi minum, nggak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Arie pun dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.

Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya sendiri, dia melanggar lagi sabda si penganggur ini. Dia mengambil air minum, tapi gesekan gelasnya di dengar oleh Tino. Tino bangun dan lupa bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini, harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Tak ada teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang sudah mencium bau kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam sebelum kematiannya dia sudah berpesan kepada dua saudaranya bahwa ia akan pergi dengan sangat jauh. Arie terjatuh di lantai. Paniknya Tino dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS dalam kondisi yang sebetulnya sudah tak bernyawa.

Ada raut sesal berkecamuk di hati Tino. Matanya bersimbah airmata melihat Arie terbujur kaku di atas ranjang roda berkain putih yang ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Tapi apa boleh buat. Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang sudah mencium bau kematiannya itu meninggal di dinding penghukumannya. Huh... apa nggak nangis melihat adegan ini. Lalu musik pilu itu mengalun dan bergetar.

Lalu koran-koran ibukota terbit sore pun menulis dengan besar di halaman depan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara. Arie adalah korban dari perceraian orang tuanya. Nah, adegan di RS ketika Tino, Santi, dan istri pertamanya bertemu. Di situ ada juga ibu kepsek, Khodijah. Tino dan istri pertamanya bertengkar. Saya ingat betul kata-kata ibu kepsek ini yang disampaikan dengan derai airmata: "Kenapa kalian bertengkar. Apa kalau bertengkar bisa menghidupkan kembali Arie. Buat apa... buat apa...Kematian Arie karena ulah kalian semua. Semasa dia hidup kalian bertengkar dan bahkan ketika dia membujur jadi jenazah kalian masih juga bertengkar. Di mana perasaan dan naluri kalian sebagai orangtua kandung Arie. Apa nggak bisa kalian berdamai sejenak untuk melepasnya."

Mata Tino setelah itu sembab. Mata Tina si ibu kandung juga sembab, mata Santi si ibu tiri juga sembab, mata ibu kepala sekolah nggak usah dibilang, mata bapaknya si Frengki (Zainal Abidin) yang teman Arie juga memerah. Termasuk matanya Gus Muh juga berkaca dengan hidung mengisak selumer cairan (yang ini kemungkinan tertulari flu si Zen Rahmat Soegito yang sudah dua minggu nggak sembuh2 dan menyebarkan virus buruk itu kepada orang seisi kantor).

mungkin itulah kisah yang dialami Ari Anggara betapa sedihnya bukan, hanya berakibat perdebatan
seorang anak harus kehilangan nyawanya

Maling Kundang Si Anak Durhaka

Ini sebuah cerita rakyat yang berasal dari sumatera barat yang dimana si maling kundang menjadi batu akibat melawan orang tua dan menjadi seorang anak yang durhaka.....! Na teman-teman mungkin kalian semua sudah pernah mendengar cerita ini

pada suwaktu-waktu Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.

Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah berganti tahun, ayah Malin Kundang tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin Kundang untuk mencari nafkah.

Malin Kundang termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin Kundang sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin Kundang tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin Kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang . Tetapi karena Malin Kundang terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati.

Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin Kundang segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. “Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak”, ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut . Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin Kundang segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai . Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya.

Desa tempat Malin Kundang terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin Kundang lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin Kundang dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundangbeserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang.

“Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian?

Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh.
“Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.

“Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang.
“Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin Kundang kepada istrinya.

Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin Kundang menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang . Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang

Ngeri.....! ya bila di bayangkan mengapa kita harus melawan pada ibu yang melahirkan kita. dimana nyawanya sebagai taruhannya untuk melahirkan kita

Sejarah putri pukes

assallammualaikum wr.wr

Mungkin kita pernah mendengar cerita legenda dari Putri Pukes yang konon ceritanya berasal dari Tanoh gayo yaitu kota takengon.dan sebagian masyarakat mengetahui kisahnya tapi tak begitu mengetahui ceritanya.menurut cerita dan informasinya yang dikumpuli dari berbagai sumber yang mengetahui cerita tentang ceritanya.

Gua putri pukes yang terletak di sebelah utara yaitu dikampung mendale kecamatan kebayakan.Putri pukes adalah nama gadis kesayangan dan anak satu-satunya berada dikampung Nosar Kecamatan Bintang, Aceh Tengah.
Suatu hari dia, dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat.

Mempelai wanita harus tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi pernikahan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai diantar menuju tempat tinggal pria. Pihak mempelai wanita diantar yang dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’ ke rumah pihak pria ke Kampung Simpang Tiga Bener Meriah.

Pada acara ‘munenes’ pihak keluarga mempelai wanita dibekali sejumlah peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat ‘munenes’ biasanya dilakukan pada acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem ‘juelen’, dimana pihak wanita tidak berhak lagi kembali ke tempat orangtuanya.

Berbeda dengan sistem ‘kuso kini’ (kesana kemari) atau ‘angkap’. Kuso kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan dengan suami. Sementara sistem ‘angkap’, adalah kebalikan dari ‘juelen’, pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan tinggal bersama keluarga pihak wanita, disebabkan pihak wanita yang mengadakan lamaran terlebih dahulu.

Pernikahan ini juga disebabkan beberapa hal antara lain, mempelai pria sebelumnya meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita untuk dinikahkan dengan putrinya, dengan alasan sangat mencintainya. Sehingga sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama keluarga mempelai wanita.

Disinilah detik-detik terjadinya peristiwa sehingga nama Putri Pukes terkenal hingga sekarang, saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri Pukes berpesan kepada putrinya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria. “Nak…sebelum kamu melewati daerah Pukes yaitu daerah rawa-rawa sekarang menjadi Danau Laut Tawar. Kamu jangan penah melihat ke belakang,” kata ibu Putri Pukes.

Sang putri pun berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih, membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara tak sengaja putri menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba putri pukes langsung berubah menjadi batu seperti seperti yang sekarang kita jumpai di dalam Gua Putri Pukes. Apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar terjadi, tetapi warga setempat percaya kalau cerita Putri Pukes itu benar ada.